Sabtu, 22 Desember 2012

Cerpen 2012



Makna Sebuah Senyuman

 
Sore itu langit yang awalnya cerah tiba-tiba sekejap berubah menjadi gelap gulita. Burung gagak yang biasanya tak pernah ada tiba-tiba juga terbang kesana kemari mengeluarkan suara khasnya di atas gubuk kami peninggalan Ibunda tercinta. Saat itu Aku tak begitu memperdulikan apa yang terjadi di luar sana, tanganku begitu erat memegang tangan kecil dan lemah Nisa. Sejak 2 hari yang lalu adikku mengalami sakit panas yang sangat parah. Dia sering mengigau memanggil-manggil Bunda yang sejak 3 tahun lalu pergi meninggalkan kami untuk selamanya. Sejenak Aku melepaskan genggaman tanganku pada Nisa sekedar untuk kembali membasahi kain kompres yang mulai mengering di dahinya.
“Bibi gimana ini panasnya tidak kunjung reda malah semakin tinggi”, keluhku pada Bibi yang sejak siang tadi menemaniku menjaga Nisa.
“Tenangkan dirimu Baron sebentar lagi Pamanmu datang kesini membawakan obat untuk Nisa”, sahut Bibi dengan halus.
            Tak lama berselang hujanpun turun begitu deras saat tangan yang ku genggam erat berubah menjadi dingin dan kaku. Nisa telah pergi kedalam pelukan-Nya meninggalkanku seorang diri. Air mataku tak dapat berhenti mengalir seperti hujan yang tak henti jatuh dari langit, saat Ku lihat wajah adikku tersenyum damai. Aku terus menatap mata Nisa, mata yang selalu membuat diri ini semgat mencari nafkah untuk menyambung hidup kami sehari-hari, mata yang selalu membuatku tersenyum, namun senyuman itu sekarang terkunci rapat. Hanya tangisan dan teriakan menyebut “Nisa” yang kini hanya bisa Ku lakukan.
“Tuhan.....kemarin kau ambil ibuku, sekarang adikku.....kenapa Tuhan?, kenapa kau berikan Aku cobaan yang datang bertubi-tubi?, tidak kah kau sayang pada hambamu yang lemah ini?, Ha......?!”, Teriakku dengan keras sembari bercucuran air mata. “Baron.....kuatkan hatimu ya nak.....”, sahut Bibi sambil memelukku dan mengusap air matanya.
Tak berberapa lama kemudian paman datang, belum sempat mengucap sepatah katapun, hanya bisa terpaku dan merasa tak percaya melihat apa yang terjadi. Obat yang ada dalam genggamannya pun seketika terjatuh. Paman begitu sedih dan terpukul melihat apa yang terjadi terhadap Nisa. Dengan tegar dan menahan air matanya Paman pergi ke rumah tetangga untuk mengabarkan berita duka ini. Seseorang  yang tak asing lagi datang menghampiri kami, seseorang yang dulu menggoreskan luka di hati kami dan lebih menyakitkan lagi di hati Bunda. Seseorang itu tak lain dan tak bukan adalah ayah kami yang saat kami masih kecil meninggalkan Bunda dan kami anak-anaknya dalam penderitaan demi seorang wanita yang membuatnya buta. Aku tak ingin dia menatap wajah adikku yang begitu suci tak ingin wajah Nisa yang begitu damai bertemu dengan dia yang telah menyia-nyiakan dan membiarkan kami hidup dalam penderitaan hingga Bunda dan Nisa kembali kepada Yang di Atas.
“Pergi kau!, pergi!, jangan kau dekati adikku!!!”, teriakku menghalangi tubuh adikku yang tengah kaku.
“Baron....maafkan ayah”, dia berusaha memelukku namun Aku melepaskan pelukan itu dan berusaha menjauh darinya.
“Ayah?!”, Aku tertawa sinis.
“Ayahku sudah mati, mati karena wanita lain. Sejak Bunda meninggal Aku dan Nisa hanyalah anak yatim piatu. Anda puas?!, dimana anda selama ini?, karena anda kami hidup menderita”, Aku membentak dengan tangisan yang tak bisa dibendung.
“Baron sudahlah biarkan ayahmu melihat adikmu”, ujar Bibi.
“Baron tak rela orang ini melihat wajah Nisa yang begitu damai, Baron tak mau Nisa menangis Bibi.....”, Aku semakin menangis.
Tubuhku lemas dan “brug” tubuh lemahku terjatuh pingsan.
Aku melihat Bunda dan Nisa saling bergandengan tangan tersenyum damai sambil melambaikan tangan padakku, mereka memakai baju putih yang indah disebuah padang rumput yang hijau dan dikelilingi bunga-bunga nan indah, Aku berlari dengan senyuman menghampiri mereka. Tapi Bunda dan Nisa semakin menjauh, Aku mulai gelisah dan terus berlari tapi mereka terus menjauh, Aku mulai menangis dan Aku terbangun, itu hanya mimpi.
“Baron kamu sudah sadar?”, tanya Bibiku.
“Nisa dimana?”, tanyaku pada Bibi. Dia memelukku dengan tangisannya.
“Baron....Nisa sudah dimakamkan, Baron kamu harus kuat dalam menjalani cobaan hidupmu. Bibi yakin kamu pasti bisa melewati ini semua”, Bibi menangis membasahi bajuku. Aku terdiam sekarang Aku sendiri, Bunda dan Nisa sudah ada dalam pelukan-Nya.
“Maaf Nisa abang tak bisa mengantar Nisa”, Aku menangis bersama pelukan Bibi ditengah lantunan Tahlil dari para kerabat dan tetangga yang datang melayat.
Setelah dua pekan berlalu belum ada senyuman yang nampak dari wajahku. Kehilangan orang yang sangat ku sayangi membuat Aku begitu terpukul, gadis kecil yang tahun depan akan masuk bangku SD itu kini canda dan senyumnnya tak akan menghiasi hari-hariku lagi. Menyekolahkan Nisa hingga ke Perguruan tinggi itulah impianku selama ini. Semenjak Bunda tiada Aku yang menggantikan jualan sayur keliling dan sedikit demi sedikit menabung untuk masa depan Nisa. Beban yang tak ringan memang untuk anak yang baru lulus SD 3 tahun silam ini lebih tepatnya 13 hari sebelum Bunda pergi, namun demi adikku Aku rela bekerja keras mencari nafkah demi menyambung hidup kami. Sekarang semangat itu sirna, hidupku seperti tidak ada artinya lagi, hari demi hari ku lalui dengan murung dan sering melamun. Setelah hampir sebulan hidup dalam keterpurukan akhirnya mimpi semalam menyadarkanku.
“Baron anakku, Bunda dan Nisa di sini sudah tenang dan bahagia, kamu harus bangkit dan jadi manusia yang berguna untuk orang banyak ya nak...”, tutur Bunda dalam mimpiku.
Sesaat setelah terbangun Aku merenung, dan semangat itu mulai tumbuh lagi dalam jiwaku. Hidup seorang diri itu yang kini ku jalani. setelah 3 hari yang lalu Ayah yang masih menyisakan luka dihatiku kembali ke luar Jawa menuju keluarga barunya di sana. Dia memang mengajakku tapi Aku tidak mau ikut dengannya. Aku lebih memilih kembali melanjutkan usaha warisan Bunda dengan semangat baru, dengan semangat senyuman dari Bunda dan Nisa yang di sana pasti bangga melihatku menjadi orang yang pantang menyerah.
Setelah usaha itu benar-benar Aku tekuni ternyata hasilnya tidak sia-sia, kini setelah 10 tahun berlalu usaha jualan sayur keliling dengan sepeda ontel tua itu berubah menjadi Toko yang lumayan besar. Toko kami mampu memperkerjakan 7 orang karyawan yang semuanya yatim piatu dan mampu memberikan rumah yang layak serta kehidupan yang lebih baik bagi keluarga baruku. Iya, kini Aku sudah berkeluarga dan telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang lahir 2 tahun setelah Aku menikah dengan seorang gadis cantik dari kampung sebelah. Alhamdulillah, Aku kini bisa hidup bahagia bersama Istri dan si kecil berkat “Toko Senyum BA”. Nama “Senyum BA” memiliki makna senyuman Bunda dan Anisa, seseorang yang senyumnya selalu melekat dihati dan selalu menjadi motivasiku untuk mengarungi hidup yang lebih baik sampai akhir hayatku.


-Zhemon-


Jumat, 09 November 2012

Wanita Idaman "Cantik Bukan Hanya yang Tampak"



Ketika cantik itu bukan saja apa yang bisa kita lihat dengan mata...
Ketika cantik adalah anugerah yang tidak semua bisa memilikinya...
Maka disini (versi saya) bisa saya telaah bahwa kecantikan itu datang dari jiwa yang mulia..
Dimana kerendahan hati dan kasih sayang bersemayam didalamnya...
Dimana mental dan talenta menjadi senjata untuk memperjuangkan kehidupannya...
Dan yang tidak kalah penting adalah pola fikir yang selalu positif terhadap hal-hal yang negatif sekalipun.....
Itulah cantik yang sebenarnya....


Rabu, 21 Maret 2012

Masih Zhemon


Dalam sebuah lorong waktu dari balik bayang-bayang masa lalu
Ku langkahkan harapan dipersimpangan jalan setapak penuh kerikil tajam
Mencoba bangkit dan beranjak dari kesedihanku
Toga yang dulu menjadi tumpuan atas segala sembilu
Kini tak dapat lagi ku genggam........
Begitu jauh kau meninggalkanku dalam kesunyian
Kau yang begitu sempurna dengan duniamu tak lagi mampu melihatku
Tak ada yang mampu ku lakukan kecuali mencoba ikhlas
Sembari ku ayunkan langkah kaki ini menuju kasih sejati


Aku Masih bisa tanpamu !