Makna Sebuah Senyuman
Sore itu langit yang awalnya cerah tiba-tiba sekejap berubah menjadi
gelap gulita. Burung gagak yang biasanya tak pernah ada tiba-tiba juga terbang
kesana kemari mengeluarkan suara khasnya di atas gubuk kami peninggalan Ibunda
tercinta. Saat itu Aku tak begitu memperdulikan apa yang terjadi di luar sana,
tanganku begitu erat memegang tangan kecil dan lemah Nisa. Sejak 2 hari yang
lalu adikku mengalami sakit panas yang sangat parah. Dia sering mengigau
memanggil-manggil Bunda yang sejak 3 tahun lalu pergi meninggalkan kami untuk
selamanya. Sejenak Aku melepaskan genggaman tanganku pada Nisa sekedar untuk
kembali membasahi kain kompres yang mulai mengering di dahinya.
“Bibi gimana ini panasnya tidak kunjung reda malah
semakin tinggi”, keluhku pada Bibi yang sejak siang tadi menemaniku menjaga
Nisa.
“Tenangkan dirimu Baron sebentar lagi Pamanmu
datang kesini membawakan obat untuk Nisa”, sahut Bibi dengan halus.
Tak lama berselang hujanpun turun begitu deras saat tangan yang ku genggam erat
berubah menjadi dingin dan kaku. Nisa telah pergi kedalam pelukan-Nya
meninggalkanku seorang diri. Air mataku tak dapat berhenti mengalir seperti
hujan yang tak henti jatuh dari langit, saat Ku lihat wajah adikku tersenyum
damai. Aku terus menatap mata Nisa, mata yang selalu membuat diri ini semgat
mencari nafkah untuk menyambung hidup kami sehari-hari, mata yang selalu
membuatku tersenyum, namun senyuman itu sekarang terkunci rapat. Hanya tangisan
dan teriakan menyebut “Nisa” yang kini hanya bisa Ku lakukan.
“Tuhan.....kemarin kau ambil ibuku, sekarang
adikku.....kenapa Tuhan?, kenapa kau berikan Aku cobaan yang datang
bertubi-tubi?, tidak kah kau sayang pada hambamu yang lemah ini?, Ha......?!”,
Teriakku dengan keras sembari bercucuran air mata. “Baron.....kuatkan hatimu ya
nak.....”, sahut Bibi sambil memelukku dan mengusap air matanya.
Tak berberapa lama kemudian paman datang, belum sempat mengucap sepatah
katapun, hanya bisa terpaku dan merasa tak percaya melihat apa yang terjadi.
Obat yang ada dalam genggamannya pun seketika terjatuh. Paman begitu sedih dan
terpukul melihat apa yang terjadi terhadap Nisa. Dengan tegar dan menahan air
matanya Paman pergi ke rumah tetangga untuk mengabarkan berita duka ini.
Seseorang yang tak asing lagi datang menghampiri kami, seseorang yang
dulu menggoreskan luka di hati kami dan lebih menyakitkan lagi di hati Bunda.
Seseorang itu tak lain dan tak bukan adalah ayah kami yang saat kami masih
kecil meninggalkan Bunda dan kami anak-anaknya dalam penderitaan demi seorang
wanita yang membuatnya buta. Aku tak ingin dia menatap wajah adikku yang begitu
suci tak ingin wajah Nisa yang begitu damai bertemu dengan dia yang telah
menyia-nyiakan dan membiarkan kami hidup dalam penderitaan hingga Bunda dan
Nisa kembali kepada Yang di Atas.
“Pergi kau!, pergi!, jangan kau dekati
adikku!!!”, teriakku menghalangi tubuh adikku yang tengah kaku.
“Baron....maafkan ayah”, dia berusaha
memelukku namun Aku melepaskan pelukan itu dan berusaha menjauh darinya.
“Ayah?!”, Aku tertawa sinis.
“Ayahku sudah mati, mati karena wanita lain.
Sejak Bunda meninggal Aku dan Nisa hanyalah anak yatim piatu. Anda puas?!,
dimana anda selama ini?, karena anda kami hidup menderita”, Aku membentak
dengan tangisan yang tak bisa dibendung.
“Baron sudahlah biarkan ayahmu melihat
adikmu”, ujar Bibi.
“Baron tak rela orang ini melihat wajah Nisa
yang begitu damai, Baron tak mau Nisa menangis Bibi.....”, Aku semakin
menangis.
Tubuhku lemas dan “brug” tubuh lemahku
terjatuh pingsan.
Aku melihat Bunda dan Nisa saling bergandengan tangan tersenyum damai
sambil melambaikan tangan padakku, mereka memakai baju putih yang indah
disebuah padang rumput yang hijau dan dikelilingi bunga-bunga nan indah, Aku
berlari dengan senyuman menghampiri mereka. Tapi Bunda dan Nisa semakin
menjauh, Aku mulai gelisah dan terus berlari tapi mereka terus menjauh, Aku
mulai menangis dan Aku terbangun, itu hanya mimpi.
“Baron kamu sudah sadar?”, tanya Bibiku.
“Nisa dimana?”, tanyaku pada Bibi. Dia
memelukku dengan tangisannya.
“Baron....Nisa sudah dimakamkan, Baron kamu
harus kuat dalam menjalani cobaan hidupmu. Bibi yakin kamu pasti bisa melewati
ini semua”, Bibi menangis membasahi bajuku. Aku terdiam sekarang Aku sendiri,
Bunda dan Nisa sudah ada dalam pelukan-Nya.
“Maaf Nisa abang tak bisa mengantar Nisa”,
Aku menangis bersama pelukan Bibi ditengah lantunan Tahlil dari para kerabat
dan tetangga yang datang melayat.
Setelah dua pekan berlalu belum ada senyuman yang nampak dari wajahku.
Kehilangan orang yang sangat ku sayangi membuat Aku begitu terpukul, gadis
kecil yang tahun depan akan masuk bangku SD itu kini canda dan senyumnnya tak
akan menghiasi hari-hariku lagi. Menyekolahkan Nisa hingga ke Perguruan tinggi
itulah impianku selama ini. Semenjak Bunda tiada Aku yang menggantikan jualan
sayur keliling dan sedikit demi sedikit menabung untuk masa depan Nisa. Beban
yang tak ringan memang untuk anak yang baru lulus SD 3 tahun silam ini lebih
tepatnya 13 hari sebelum Bunda pergi, namun demi adikku Aku rela bekerja keras
mencari nafkah demi menyambung hidup kami. Sekarang semangat itu sirna, hidupku
seperti tidak ada artinya lagi, hari demi hari ku lalui dengan murung dan
sering melamun. Setelah hampir sebulan hidup dalam keterpurukan akhirnya mimpi
semalam menyadarkanku.
“Baron anakku, Bunda dan Nisa di sini sudah
tenang dan bahagia, kamu harus bangkit dan jadi manusia yang berguna untuk
orang banyak ya nak...”, tutur Bunda dalam mimpiku.
Sesaat setelah terbangun Aku merenung, dan semangat itu mulai tumbuh
lagi dalam jiwaku. Hidup seorang diri itu yang kini ku jalani. setelah 3 hari
yang lalu Ayah yang masih menyisakan luka dihatiku kembali ke luar Jawa menuju
keluarga barunya di sana. Dia memang mengajakku tapi Aku tidak mau ikut
dengannya. Aku lebih memilih kembali melanjutkan usaha warisan Bunda dengan
semangat baru, dengan semangat senyuman dari Bunda dan Nisa yang di sana pasti
bangga melihatku menjadi orang yang pantang menyerah.
Setelah usaha itu benar-benar Aku tekuni ternyata hasilnya tidak
sia-sia, kini setelah 10 tahun berlalu usaha jualan sayur keliling dengan
sepeda ontel tua itu berubah menjadi Toko yang lumayan besar. Toko kami mampu
memperkerjakan 7 orang karyawan yang semuanya yatim piatu dan mampu memberikan
rumah yang layak serta kehidupan yang lebih baik bagi keluarga baruku. Iya,
kini Aku sudah berkeluarga dan telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang
lahir 2 tahun setelah Aku menikah dengan seorang gadis cantik dari kampung
sebelah. Alhamdulillah, Aku kini bisa hidup bahagia bersama Istri dan si kecil
berkat “Toko Senyum BA”. Nama “Senyum BA” memiliki makna senyuman Bunda dan
Anisa, seseorang yang senyumnya selalu melekat dihati dan selalu menjadi
motivasiku untuk mengarungi hidup yang lebih baik sampai akhir hayatku.
-Zhemon-